“Yang awalnya ibu-ibu cuma bisanya bikin tas, tapi dengan adanya anak-anak muda dilatih. Akhirnya mereka punya inisiatif. Jadi kreativitasnya lebih tinggi lagi. Ini cara kami untuk meningkatkan nilai produk. Dengan ragam bentuk produk dari anyaman, nilai jualnya pun semakin tinggi,” terang Asep Adam, yang saat ini tengah menempuh pendidikan dalam Prodi Pariwisata, Universitas Terbuka Serang.
Selain mendorong inovasi produk, Desa Wisata Bukit Sinyonya juga mengubah peran para pengrajin. Jika sebelumnya mereka hanya berfokus pada produksi, kini para pengrajin juga berkesempatan menjadi instruktur. “Sekarang kami tidak hanya menjual produk. Kita mengajarkan juga ke masyarakat dan juga para pengunjung. Yang awalnya cuma pengrajin biasa, sekarang sudah menjadi instruktur,” ungkap Asep Adam.
Pernyataan Asep Adam tersebut diamini dengan pengalaman masyarakat yang merasakan langsung manfaat pengelolaan potensi desa. Seorang pengrajin, Ani (52) mengatakan bahwa aktivitas menganyam telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sekaligus sumber penghasilan. “Dulu kehidupan kami itu cuma dari hutan ke rumah, menganyam, _boro-boro_ kita tahu desa. Dari kecil, sejak Sekolah Dasar sudah bisa menganyam. Sekarang, sudah bisa beli sepatu baru dari hasil menganyam,” tuturnya.
Hasil kerajinan anyaman bahkan mampu membantu Ani memenuhi kebutuhan keluarga hingga meningkatkan kualitas pendidikan. “Terus terang, saya bisa menguliahkan anak juga hasil dari ini. Memang tidak sepenuhnya, tapi sedikit banyaknya kami hasilkan dari menganyam,” ujarnya.
Masyarakat Desa Bandung melihat Reforma Agraria tidak hanya berorientasi pada kepemilikan tanah, tetapi lebih penting dari itu, yakni membantu masyarakat mengelola tanah dan sumber daya yang hidup di atasnya. “Saat ini kami juga sudah berkolaborasi dengan universitas, pihak swasta juga pemerintah daerah agar terus mendukung dan meningkatkan desa wisata kami,” pungkas Ani. (GE/MW). ***